Minggu, 19 Juni 2016

Puasa Menurut Pandangan Islam


Puasa Menurut Pandangan Islam

Puasa adalah bagian dari ibadah kaum muslimin dan ada berbagai ibadah puasa yang dijalan oleh kaum muslimin dalam berbagai waktu dan kondisi. Puasa terbukti memiliki banyak manfaat dan keutamaan , oleh sebab itu pemahaman akan puasa wajib dipahami bagi pelakunya agar dalam menjalankannya mendapat banyak wacana yang bermanfaat baik dari sisi kesehatan , amal ibadah maupun pengembangan jiwa dan ruhani. Dan secara langsung mampu mengubah jiwa dan kepribadian menjadi jiwa yang berakhlak baik.
Keutamaan Berpuasa.
1. Pengampum
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, (bahwasanya) beliau bersabda (yang artinya): 

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab (mengharap wajah Allah) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu". 
[Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu juga, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya): 

“Shalat yang lima waktu, Jum'at ke Jum'at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara tenggang waktu-waktu tersebut selama menjauhi dosa besar". 
[Hadits Riwayat Muslim 233].

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallampernah naik mimbar kemudian berkata: 

"Amin, Amin, Amin"

Ditanyakan kepadanya: "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?" Beliau bersabda (yang artinya): 

“Sesungguhnya Jibril 'alaihissalam datang kepadaku, dia berkata: "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak terampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan "Amin", maka akupun mengucapkan Amin...." 
[Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhanhal.25-34 karya Ibnu Syahin].



Puasa juga banyak dijalankan oleh berbagai agama didunia bukan hanya agama islam saja yang menjalankan puasa, agama kristen, hindu dan budha juga mempunyai puasa dalam agama mereka masing-masing hanya beda cara menjalani puasa dalam agama mereka contoh agama hindu menjalankan puasa dengan cara berikut, Puasa berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata Upa dan Wasa, di mana Upa artinya dekat atau mendekat , dan Wasa artinya Tuhan atau Yang Maha Kuasa. Upawasa atau puasa artinya mendekatkan diri kepada Tuhan yang maha esa. Puasa menurut Hindu adalah tidak sekedar menahan haus dan lapar, tidak untuk merasakan bagaimana menjadi orang miskin dan serba kekurangan, dan tidak untuk menghapus dosa dengan janji surga. Puasa menurut Hindu adalah untuk mengendalikan napsu Indria, mengendalikan keinginan. Indria haruslah berada dibawah kesempurnaan pikiran, dan pikiran berada dibawah kesadaran budhi. Jika indria kita terkendali, pikiran kita terkendali maka kita akan dekat dengan kesucian, dekat dengan Tuhan.

Dibulan ramadhan banyak umat muslim yang menjalankan puasa dan banyak pula yang tidak menjalankan puasa karena banyak yang belum paham makna dari puasa dan manfaat dari puasa, dan banyak pula yang meninggalkan puasa karena pekerjaan mereka didalam agama islam diwajibkan berpuasa terkecuali;

1.Orang sakit
Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang memiliki penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat.
Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika sembuh, dia mengqodho’nya (menggantinya di hari lain). Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Untuk orang sakit ada tiga kondisi:
Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.
Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29).

2.Musafir
Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat disyari’atkan untuk tidak berpuasa.
Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.
Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat dikatakan bahwa musafir ada tiga kondisi.
Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
Jabir mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.” (HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115). Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.

Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa.
Dari Abu Darda’, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122) Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.” (HR. Muslim no. 1114). Nabi mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.

3. Wanita Hamil dan Wanita Menyusui
Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Hal ini disepakati oleh para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Namun apakah mereka memiliki kewajiban qodho ‘ ataukah fidyah? Dalam masalah ini ada lima pendapat. Pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa cukup dengan fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta dan mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18).
Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar. Dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat keduanya. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar