Puasa Menurut Pandangan
Islam
Puasa adalah bagian dari ibadah
kaum muslimin dan ada berbagai ibadah puasa yang dijalan oleh kaum muslimin dalam
berbagai waktu dan kondisi. Puasa terbukti memiliki banyak manfaat dan
keutamaan , oleh sebab itu pemahaman akan puasa wajib dipahami bagi pelakunya
agar dalam menjalankannya mendapat banyak wacana yang bermanfaat baik dari sisi
kesehatan , amal ibadah maupun pengembangan jiwa dan ruhani. Dan secara
langsung mampu mengubah jiwa dan kepribadian menjadi jiwa yang berakhlak baik.
Keutamaan Berpuasa.
1. Pengampum
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, (bahwasanya) beliau bersabda
(yang artinya):
“Barangsiapa
yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab (mengharap
wajah Allah) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu".
[Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu juga, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya):
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu juga, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya):
“Shalat yang
lima waktu, Jum'at ke Jum'at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang
terjadi di antara tenggang waktu-waktu tersebut selama menjauhi dosa
besar".
[Hadits Riwayat Muslim 233].
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallampernah naik mimbar kemudian berkata:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallampernah naik mimbar kemudian berkata:
"Amin,
Amin, Amin".
Ditanyakan kepadanya: "Ya
Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?"
Beliau bersabda (yang artinya):
“Sesungguhnya Jibril 'alaihissalam datang kepadaku, dia
berkata: "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak terampuni
dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan
"Amin", maka akupun mengucapkan Amin...."
[Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192
dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits
ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak
hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri
Ramadhanhal.25-34 karya Ibnu Syahin].
Puasa juga banyak dijalankan oleh
berbagai agama didunia bukan hanya agama islam saja yang menjalankan puasa,
agama kristen, hindu dan budha juga mempunyai puasa dalam agama mereka masing-masing
hanya beda cara menjalani puasa dalam agama mereka contoh agama hindu menjalankan
puasa dengan cara berikut, Puasa
berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata Upa dan Wasa, di mana Upa
artinya dekat atau mendekat , dan Wasa artinya Tuhan atau Yang Maha Kuasa.
Upawasa atau puasa artinya mendekatkan diri kepada Tuhan yang maha
esa. Puasa menurut Hindu adalah tidak sekedar menahan haus dan lapar,
tidak untuk merasakan bagaimana menjadi orang miskin dan serba kekurangan, dan
tidak untuk menghapus dosa dengan janji surga. Puasa menurut Hindu adalah untuk
mengendalikan napsu Indria, mengendalikan keinginan. Indria haruslah berada
dibawah kesempurnaan pikiran, dan pikiran berada dibawah kesadaran budhi. Jika
indria kita terkendali, pikiran kita terkendali maka kita akan dekat dengan
kesucian, dekat dengan Tuhan.
Dibulan ramadhan banyak umat muslim yang menjalankan
puasa dan banyak pula yang tidak menjalankan puasa karena banyak yang belum
paham makna dari puasa dan manfaat dari puasa, dan banyak pula yang
meninggalkan puasa karena pekerjaan mereka didalam agama islam diwajibkan berpuasa
terkecuali;
1.Orang sakit
Yang dimaksudkan sakit adalah
seseorang memiliki penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat.
Para ulama telah sepakat mengenai
bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika sembuh, dia
mengqodho’nya (menggantinya di hari lain). Dalil mengenai hal ini adalah firman
Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Untuk orang sakit ada tiga kondisi:
Kondisi pertama adalah
apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa.
Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut
keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.
Kondisi kedua adalah
apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan
menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi
ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
Kondisi ketiga adalah
apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada
kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kamu membunuh
dirimu.” (QS. An Nisa’: 29).
2.Musafir
Musafir yang melakukan perjalanan
jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat disyari’atkan
untuk tidak berpuasa.
Dalil dari hal ini adalah firman
Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat
imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.
Manakah yang lebih utama bagi orang
yang bersafar, berpuasa ataukah tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih
pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil,
dapat dikatakan bahwa musafir ada tiga kondisi.
Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik
ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
Jabir mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu
ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang
yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Bukanlah suatu yang baik seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.”
(HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115). Di sini dikatakan tidak baik
berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk
melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa.
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang
meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara
kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari no. 1945 dan
Muslim no. 1122) Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu
lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih
mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan
daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat
mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan
diharamkan untuk berpuasa.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau
berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar
pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika
itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara
Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau
meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun
memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau
melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang
tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang
yang durhaka”.” (HR. Muslim no. 1114). Nabi mencela keras seperti ini
karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu
yang tercela.
3. Wanita Hamil dan Wanita Menyusui
Jika wanita hamil takut terhadap
janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi
yang dia sapih karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak
berpuasa. Hal ini disepakati oleh para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah
‘azza wa jalla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah pun
menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui.” (HR.
Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Namun apakah mereka memiliki
kewajiban qodho ‘ ataukah fidyah? Dalam masalah ini ada lima pendapat. Pendapat
yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa cukup dengan fidyah yaitu
memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta
dan mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi
makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak
ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya):
“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini
masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka
tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir
mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan
orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud
dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18).
Inilah yang menjadi pendapat Ibnu
‘Abbas dan Ibnu ‘Umar. Dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi
pendapat keduanya. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang
membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu
‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang
tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al
Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. Wallahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar